Di pagi yang buta ini kau masih saja membahas
tentang cinta-yang katamu telah ku bagi. Kau hanya kalah sepersekian
detik dari kokok ayam yang sahut-sahutan mengabarkan subuh pada makhluk
Tuhan lainya diujung tanah ini.
Sebenarnya aku tak paham dengan hal ihwal kewaspadaanmu yang sudah
berlebihan begitu. Kau sepertinya cemburu, beberapa kali kau mengataiku
selingkuh.
Aku heran, kau sepertinya kurang mengerti atau pura-pura tuli tentang
perihal yang kau alamatkan padaku dan perihal itu sudah tuntas ku bahas
tadi malam sebelum kau tertidur, tetapi kenapa sampai pagi ini
pikiranmu masih begitu ngaur?
Kau keras kepala, ku lihat almanak kecil di meja tulis telah habis kau
silang dengan tinta merah, aku heran kenapa tanggal-tanggal aku
keluyuran tidak pulang kau silangkan, padahal alasanku jelas-tertanggal
itu aku lembur kerja, bukan main serong sama bini orang.
Kau keras kepala, lagi-lagi itu kata yang pas untuk kugambarkan sikap
egoismu. Kau akan makan apa kalau aku tidak kerja? Kau tidak tau aku
susah payah mendulang uang, kau malah enakan mencercau ku dengan
pelbagai tuduhan.
Aneh, aneh sekali. Aku menduga ada yang mengompori semua ini. Tidak
mungkin serta merta api membungbung tinggi jika tidak ada yang
menyulutnya sama sekali. Namun siapa orangnya?
Ah… aku ingat, pasti si Jali mantan pacarmu ketika SMA dulu. Aku
mendapatinya di jalanan gang ini kemaren hari, berlawanan arah denganku
saat aku pergi ngopi ke kedainya Wak Karni. Apa mungkin kalian masih
ada kontak? Bukankah kalian dulu sudah maki-maki macam babi setelah kau
dapati Jali menindih Malis di tepi kali. Ah… setan punya seribu satu
cara menghasut manusia.
Tidak terelakkan, pagi ini dua piring memekakkan sayapnya. Lepas landas
ke mukaku namun dapat ku tangkis. Kau sudah kesetanan, mungkin
penyakit buyutmu telah merasuki tubuhmu. Betapa dulu buyutmu harus
dipasung karena tiap pagi kerjaannya mencaci-maki siapa saja sesuai
kehendak hatinya. Buyutmu juga pernah memartil kaca rumah Pak Kadus
hingga sempoyongan lebur. Tidak sampai disitu, dia-pun hendak terjun
bebas dari jembatan gantung, untung saja disaat bersamaan anak
sulungnya lewat, berteriak histeris minta tolong sebelum keburu buyutmu
lepas payung. Oleh itulah dia dipasung hingga menemui ajalnya setahun
setelah itu. Lakumu hampir serupa dengan buyutmu saat gila dulu. Apa
kau mau kupasung juga? Ah entahlah…
Aku memilih keluar rumah, tidak memperdulikan gilamu lagi. Tujuanku
sekarang ngopi ke kedai Wak Karni, nanti setelah itu akan ku hampiri
Pak Kadus untuk ku ceritakan hal ihwal pagi ini. Mungkin begitulah jadi
warga yang baik, saling kompromi dengan petinggi, saling menasehati,
saling mendengarkan, saling memberi masukan. Bukan bisanya hanya
korupsi, memeras, menguras harta anak negri untuk kepentingan pribadi
seperti yang dipertontonkan pejabat negara dewasa ini. Begitulah
kira-kira.
Selasa, 30 Sep ‘14