Maret
1974 Perusahaan ini didirikan, melalui tahapan panjang dan pergumulan hebat.
Membutuhkan banyak tenaga, tidak terkirakan lagi berapa materi yang dikeluarkan
untuk suksesnya proyek besar yang nantinya akan mendunia ini. Pihak-pihak yang
bertanggung jawab-pun mati-matian berjuang agar program hebat ini tidak jatuh
sebelum bertanding menari.
Akan
tetapi yang namanya proyek besar pasti ada kontradiksi-kontradiksi dan pro
kontra yang terjadi. Hitam dan putih memang tidak dapat dipisahkan dalam ritual
kehidupan ini.
Di
awal mula rencana pembangunan proyek ini ada banyak yang memberi dukungan agar
proyek tersebut terealisasi, dengan pertimbangan bahwa perekonomian akan
semakin maju dan rakyat tidak akan lagi dililit oleh kondisi ekonomi yang
semakin menyengsarakan. Meski demikian banyak juga yang menentang dibangunnya
perusahan yang akan menyerap gas alam cair itu, mereka beralasan tentang dampak
jangka panjang yang ditimbulkan oleh eksplorasi besar-besaran gas alam
tersebut, belum lagi carut-marut antara pemilik tanah dengan pemilik modal
dalam urusan pembebasan lahan. Inilah yang ditakuti oleh penentang kebijakan
tersebut yang diantaranya merupakan warga yang mendiami tempat tujuan
dididirikannya perusahaan gas itu.
Namun,
dengan pendekatan yang bijak dan sosialisasi yang baik, hati rakyat yang
mendiami lokasi akan dibangunnya perusahaan itu berhasil direbut, maka pada
tanggal 16 Maret 1974 perusahan yang diberi nama PT Arun NGL ( Natural Gas
Liquefaction) berhasil didirikan, baru pada tanggal 19 September 1978 resmi
dikukuhkan oleh Presiden Soeharto setelah sukses mengekspor kondensat pertama
ke Jepang (14 Oktober 1977).
Berhasil
berdirinya PT Arun NGL tersebut secara otomatis membuat rakyat yang mendiami
kawasan itu terusir, negosiasi pembebasan lahanpun terjadi dan warga yang
terpaksa minggat dijanjikan perkampungan baru sebagai tempat yang akan didiami
nanti.
Nah
pada proses inilah yang membuat warga berang dan kecewa, perkampungan baru
seperti yang dijanjikan tak kunjung diberikan. Lantas permasalahan ini
berlarut-larut sampai dengan sekarang dimana masa pengoperasian perusahaan
tersebut telah habis pada 14 Oktober 2014 yang ditandai dengan pengapalan
terakhir gas alam ke Korea Selatan.
Hal
yang ditakutkan terjadi, janji hanya sebatas janji. Siapa yang patut
disalahkan, Pihak Pertamina-kah, Pemerintah Indonesia, atau Pemerintah Aceh
sendiri yang sibuk sendiri dengan negosiasi lain sehingga lupa pada warga yang
berpuluh tahun telah diabaikan oleh Perusahaan yang namanya mendunia itu.
Abainya
pihak pemilik modal tersebut berdampak pada kelanjutan hidup warga yang sampai
sekarang masih luntang-lantung. Bagaimana bisa tuan rumah terusir dari rumah
sendiri? Miris memang, tapi inilah realita yang dihadapi oleh tuan rumah sampai
dengan sekarang.
Indonesia
boleh berbangsa dengan suksesnya tahap demi tahap pengapalan gas alam dan
kondesat ke luar negeri, Pertamina dan Pemerintah Aceh pun demikian, namun
nasib 542 KK yang terusir sampai saat ini masih belum bertempat tinggal tetap,
masih saban hari menahan air mata, siapa yang kiranya mau memiikirkan?
Lhokseumawe boleh jadi ada sedikit bagian dari keuntungan yang PT Arun tuai,
itupun hanya secuil, tapi dari secuil itu cukupkah untuk memenuhi tuntutan
rakyatnya itu? "Petro Dolar" hanya sandangan penghibur belaka. Semua
orang diluar sana yang tanpa beban sama sekali bersenang-senang dengan
sandangan tersebut, tapi tuan rumah yang terus-menerus menumpahkan air mata
kekesalan siapa peduli?
Pemerintah
Aceh selaku tuan rumah seharusnya lebih gesit dalam memperjuangkan hak-hak
rakyat yang diabaikan itu. Apalagi ini bukanlah problema baru, tetapi sudah
menahun terjadi. Ini terkesan tidak ada kepedulian sama sekali. Terus apa
gunanya Otsus yang telah diperjuangkan itu? Semestinya Aceh yang sudah diberi
wewenang memerintah sendiri bisa mengayomi dan menyantuni dengan baik rakyatnya
dengan melunaskan hak-haknya bukan bersenda gurau dan berleha-leha dengan apa yang
telah dicapai.
Lantas
kapan kita akan jadi tuan dirumah sendiri? Mengingat PT Arun NGL sudah berhenti
mengeruk gas, rakyat masih saja menanggung siksa. Gas telah usai yang tersisa
hanya air mata. Janji ganti rugi lahan yang ketika itu diamini entah kapan akan
terealisasi. Rakyat sudah kenyang dengan janji, ditambah lagi dengan
janji-janji kampanye wakil rakyat yang saban hari menghiasi bibir mereka.
Tak
ayal, Rabu (15/10) seratusan warga eks Blang Lancang yang tergabung dalam
Ikatan Keluarga Blang Lancang (Ikbal) bersama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
cabang Lhokseumawe kembali melakukan aksi menuntut hak mereka yang telah
dirampas sejak tahun 1974 lalu. Mereka menyuarakan agar PT Arun NGL tetap harus
bertanggung jawab terhadap proses ganti rugi lahan. Menurut warga, tempat
berdirinya kilang LNG Arun yang selama ini dijadikan lokasi pabrik adalah milik
warga, dan belum diganti rugi.
Sebenarnya
bukan kali ini saja warga bernegosiasi dengan pihak penanggung jawab PT Arun
NGL tentang masalah pembebasan lahan ini, malahan sudah berulang kali, namun
tetap saja tidak digubris. Ocehan rakyat didengar hanya sambil lalu, tanpa
keseriusan yang membuat warga tenang dan tentram. Tidak adakah nurani mereka,
atau ini sebuah permainan yang dipenuhi oleh kongkalikong yang terselubung?
Wallahu a'lam.
Kita
berharap setelah aksi warga ini, mengingat PT Arun NGL sudah tidak beroperasi
lagi semoga pihak yang berwewenang segera merealisasikan tuntutan-tuntunan
warga sebagaimana yang telah dijanjikan dulu. Ini pula untuk kebaikan bersama,
sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Beri sedikit hormat atas
kesabaran warga yang telah berumur 40 tahun. 40 tahun bukan waktu yang
sebentar, hanya orang-orang pilihan yang mampu bersabar sedemikian lamanya. Pun
Pemerintah Aceh, mari menjembatani keluhan warga ini agar cepat
ditindaklanjuti, sehingga rakyat bisa berdamai dengan diri sendiri dan dengan
situasi yang semakin morat-marit ini. Semoga.
Joel Alta, Alumni FKIP Pendidikan Matematika Univ. Almuslim-Bireuen
Nb:
Artikel ini pernah dimuat di Koran lokal Aceh (Rakyat Aceh/Metro Aceh) pada rubrik
OPINI tertanggal 18 Oktober 2014.