Secara kebetulan, sore tadi aku berhadapan
muka dengan mu. Aku melihatmu, kamu tidak melihatku, itu saja. Inginku menegur,
namun niat itu aku urungkan. Aku meratapi ketidak-beranianku menyapa mu itu
sembari melihat kamu berlalu sedemikian jauh, semakin jauh saja sampai
punggungmu tidak kelihatan lagi.
Malamnya, penyesalan kian
memuncak saja, berkecamuk dalam hati. Kenapa saat ada kesempatan aku malah
diam, bisu, dan begitu lugu. “tunggu dulu!”, hatiku memberontak. “Benarkah dia
tadi? Terus siapa yang menggandeng tangannya? Pacar barunya? Atau suaminya?”
Aku linglung dan kebingunan sendiri. Hati masih saja meratapi, “terus jika itu
suaminya, mengapa dia tidak mengabariku bahwa sudah menikah? “ Arrgh… Kepalaku
rasanya telah meledak dan segala isinya berhamburan di atas tempat tidurku.
Tidak tau harus berbuat apa. Kepala kian pening saja, mata tidak mau terpejam,
lengkap sudah penderitaan.
Dua hari setelah melihatmu
kemarin, sore ini hal yang sama terjadi lagi. Bedanya saja hari ini kalian
pergi bertiga, bersama seorang bayi perempuan yang cantik dan imut. Aduhai… :( :( *#/*#/*#