“Apa kabar?” Aku menyapa nya
berkali-kali, tidak pernah bosan. Ketika pagi, saat matahari menyembul
kepermukaan. Ketika siang, saat jam makan tiba. Ketika senja, saat di ufuk
barat menyemburat cahaya mega--keperakan, aku selalu menyapanya. Bahkan saat malam
datang dan jam istirahat berdenting, aku menyisihkan waktuku untuk menyapanya.
Tiap hari aku melakukan itu untuknya, berusaha hadir di sela-sela kesibukan,
memberikan
senyuman kebahagian yang bisa
menenangkan hatinya.
Tetapi apa hendak di kata, sapaanku
hanya terbuang sia-sia, se-kali-pun tidak pernah dihiraukannya. Terkadang aku
merasa jengkel dan mulai lelah dengan apa yang dilakukannya terhadapku, dengan
diamnya, dengan angkuhnya, dengan acuh tak acuhnya yang saban waktu tidak
pernah berubah.
Berusaha bersabar, itulah
sifatku. Untuk tidak mudah putus asa dalam menyapa dan menanyakan kabarnya.
Walau sebenarnya itu sebuah pemaksaan, tapi itu tidak ku hiraukan. Ingin sekali
aku mendengar sahutannya akan sapaanku, rindu akan suaranya yang telah lama tidak
terdengar lagi. Rasanya dua bulan yang lalu aku mendengar suaranya, suara
terakhirnya saat sehari sebelum keganasan jalan raya melukainya. Hingga hari
ini dia belum sadarkan dia. Senyumnya, tawanya, sedihnya, cerianya menyatu
dalam kebisuannya memandang langit-langit ruangan 4x3 yang menemaninya selama dua
bulan lebih. Hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik untuknya. Itu saja.