Bila
ada yang bercerita padamu tentang senja terindah yang pernah dilihatnya,
dengan langit yang selalu kemerahan, dia pasti belum pernah datang
kesini. Senja terindah hanya ada disini. Senja kuning keemasan seolah
madu lembut dan bening yang ditumpahkan ke langit, hingga segala yang
mengapung di permukaan air menjadi tampak kuning berkilauan. *)
Senja yang tak hanya bening, tapi begitu hening. Selembar daun yang jatuh-pun tak akan mengusik keheningannya. *)
Angin lembut nan sejuk membiarkan nyiur mengalun tenang, bayang-bayang
mengikuti gerak dedaunnya bergoyang. Gelombang pasang laut-pun seakan
enggan berirama dengan rima yang tercipta di penghujung petang.
Sepertinya hari semakin gelap, jalanan sudah tampak lengang, dipucuk
cemara terlihat kelelawar mulai berterbangan, camar-camar pulang
keperaduan tidak lagi menanti sarden terbang akibat hempasan gelombang,
aku menggandengmu, dan "kita pulang".
Sejurus kemudian kita
berlalu, melewati jalan menukik di pinggiran tebing. Di bawahnya
menjuntai akar-akar pohon yang menohok menyandarkan diri ke tanah. Siapa
saja yang melewatinya pasti merinding ngeri. Jika jatuh, terkuburlah
dibawah sana bersama belukar yang mengakar.
Angin berdesing,
suasana kian dingin. Di atas sana kabut tipis menutupi lidah purnama
yang sebentar lagi akan membahana. Sungguh pemandangan indah,
diselubungi aroma mistis yang menggairahkan. "Malam yang dinanti para
pemuja iblis" batinku meng-iya-kan.
Jam 10 malam kita tiba di
terminal lama, gedung-gedung menjulang tak terawat menjadi saksi bisu
bulan menatap malam yang terbuai gulita. Kita masuk ke lokasi terminal
dan keluar lewat gerbang belakang, terus tembus melewati jalanan sempit
dibantaran sungai yang begitu kelam.
Aroma ketakutan tidak
terlintas sama sekali. Tapi rasanya tidak denganmu yang baru kali ini
melewati jalan sesepi ini. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan.
"Pundak serasa membesar, seperti ada yang mengikuti, dan mata tajam
menggeliat menelisik kesana kemari". Aku bukan menebak, tapi itu hal
lumrah bagi sesosok manusia, bukan sepertiku yang sudah berada dialam
lain ini.
Dulu saat pertama aku dibawa kemari, juga persis seperti kamu sekarang, ketakutan, demam, serta kejang-kejang.
Kita sudah sampai, para tamu sudah pada memenuhi kursi. Tengah malam tidak lama lagi, saat yang dinanti-nanti.
Waktu itu kamu memang sudah seperti dialam mimpi, jiwamu telah terbang,
melintang tembus cakrawala. Kamu kuarahkan ke kawanan yang masih suci,
aku menyelinap ke belakang menyiapkan keperluan untuk bercengkrama
dengan raja iblis tepas jam 12 pas nanti.
***
Kamu sukses jadi permaisuri ku, inilah masa yang telah lama ku tunggu. Alam kita sudah sama.
Nanti akan ada banyak kejutan disini, perlahan kamu akan mengerti
kenapa aku dulu harus ada di alam hitam ini, dan sekarang kamupun ku
bawa kemari.
Perlahan kita akan menjelajah.
Lihat
disana, diujung tebing yang pernah kita lalui, itu ayahmu yang sedang
mengasingkan diri. Menunggu seseorang yang tersesat disana pas saat
purnama, kemudian akan menjadikan siapa-saja itu mangsanya.
Sama seperti kamu yang tanpa sengaja dan sudah diluar kesadaran singgah di "ujung pantai rindu" ketika itu.
Lihatlah ke gedung-gedung tua dekat terminal itu, seorang tua
bertongkat tampak sedang bersemedi, dia itu buyutmu. Dialah yang
membawaku kesini. Sama sepertimu, dulu aku juga tidak sengaja ketempat
itu, seorang diri.
Membawamu kesini, bagai buah simalakama.
Pertama aku kasihan akan bagaimana nanti saat keluargamu mencari, pasti
mereka akan kebingunan sepanjang hari bahkan sepanjang tahun, seumur
hidup.
Kedua, masalah rinduku; mengingat kamu adalah cinta
pertamaku. Dulu kamu pernah mengatakan "cinta itu butuh pengorbanan dan
kesetiaan, tak ada cinta tanpa pengorbanan yang teramat payah dan
membingungkan". Sekarang aku sudah berkorban. Pun rindu yang berkecamuk
menuntunku membebaskanmu dari rundung pilu masa lalu.
Manakala
jasadku dulu kalian temukan tergeletak di hamparan tanah gedung tua itu
sungguh aku bisa melihatmu dari sini, ketika itu kamu menangis
tersedu-sedu.
Tujuh hari kamu tidak pulang dari tempat aku
disemayamkan. Setelah ibumu menjemput paksa, kamu mengurungkan diri
dirumah sudah bagaikan orang gila. Karena itulah aku kasihan dengan
rindu dan cinta kita dulu, maka aku menjemputmu di bantaran pantai yang
kunamakan "ujung pantai rindu".
"Kita Pulang".
Bireuen 17 September '14
* Kutipan dari cerpen Senja di mata yang buta oleh Agus Noor (Tempo, 23 Feb '14)