Hari
hampir hujan, awan pekat tampak menyelimuti langit, orang-orang mulai
sibuk sendiri; dari mengangkat jemuran, memanggil bocah-bocah mereka
untuk pulang, hingga mengandangkan ayam-ayam agar tidak lagi
berkeliaran. Terlihat juga domba dan kambing yang sedu-sedan saat
gemiris mulai berjatuhan, sibuk mencari perlindungan agar bulunya tidak
basah kena hujan.
Jalanan tampak lengang, rintik hujan mulai
lebat. Tali-temali air kian kencang menghentak daratan, menghujam
dedaunan hingga tengkurap berbalik arah; atas ke bawah, bawah ke atas.
Pada sudut-sudut atap rumah, air bercucuran, penuh ember tempat
penampungan. Air terlihat merah kecoklatan. Hujan pertama setelah
setahun dilanda kekeringan.
Bapak berpesan agar tidak bermain
hujan jika itu adalah hujan pertama setelah sekian lama tidak hujan,
bisa timbul penyakit. Entah darimana Bapak dapat pengetahuan begitu.
Walau demikian kami tidak berani melanggarkan. Kami segan sama Bapak,
selalu mematuhi kata-katanya. Jangankan kami anaknya, orang
sekampung-pun tidak berani melanggar jika Bapak sudah berucap
batasan-batasan.
Dua jam sudah hujan mengairi sawah, ladang,
pekarangan, rerumputan, ilalang hingga ternak-ternak kami, hingga
terpuas dahaganya. Kering setahun hilang dengan hujan walau baru
sebentar. Tanah menggeliat menyerap banyak sisa-sisa hujan, seakan
menyimpannya sebagai cadangan siapa tau hujan seharian sepanjang tahun
kemudian kemarau yang tak berkesudahan; semoga saja tidak. Sayang tempat
bercocok tanam kami telah lama jadi pengangguran, persawahan tidak ada
kegiatan yang menguntungkan, selain anak-anak yang berleha-leha dengan
bola sepak tanpa penjaga gawang.
Bapak tampak sibuk mengairi
air agar tidak tergenang di pinggiran rumah. Bapak membuat semacam
drainase mini agar air turun ke persawahan. Ibuk yang dari tadi tidak
kelihatan ternyata lagi didapur menyiapkan makan malam. Diluar gerimis
belum juga reda, masih saja terdengar dari atap rumah kami yang terbuat
dari seng, tidak teralu lebat, tapi cukup membuat badan terasa
kedinginan.
Jam tidurpun dipercepat, dingin menyungsup ke
sum-sum tulang membuat badan menggigil tak karuan, bagai tinggal
dipegunungan. Malam kian sunyi, semua mati suri. Jangkrik tidak
bergeming hanya ada kodok terdengar ngorok girang bukan kepalang.
***
Lama mata terpejam, aku mendapati diri di tenda darurat pengungsian
dengan selang infus ditangan dan kedua kaki terperban. Apa yang terjadi
pikirku. Kepala terasa pusing pikiran begitu hening. Lamat-lamat aku
membuka mata seakan bumi hentak bergoyang. Kemudian seorang perempuan
berbaju putih masuk, berdiri pas disamping ranjang aku dibaringkan.
Senyumnya tersungging mendapatiku telah membuka mata, dia memeriksa
tekanan jantungku, menyenter kedalam bola mataku, dan menyuntik cairan
ke dalam botol infus yang selangnya tembus ke rongga nadiku.
Tidak berkata apa-apa dan aku tidak menanyakan apa-apa. Aku hanya
melihat laku dan gerak-geriknya saja. Padahal ingin sekali berucap dan
bertanya apa yang terjadi, saat kucoba dada terasa sakit dan suara
enggan keluar. Sungguh sangat tersiksa.
"Dik telah sadar
rupanya" perempuan itu berucap. Terus kucoba menyahutinya, tetap tidak
bisa. Aku tergagap-gagap. " Jangan dipaksakan dik, nanti akan normal
kembali. Hanya butuh waktu dan perawatan beberapa hari lagi saja".
Suaranya begitu merdu dengan lakunya yang anggun.
"Jum'at
malam kemarin, air bah datang. Akibat hujan semalaman, debit air naik
dan sungai tidak bisa menampungnya lagi. Air tumpah ruah kepedesaan.
Menghanyutkan apa saja, membawa semuanya ke kuala, semua tidak tersisa.
Kamu ditemukan warga sekitar-aliran sungai tersangkut di dahan jati, dan
mereka membawamu kemari, bersama beberapa orang yang berhasil
diselamatkan" dia bercerita panjang lebar.
Air mata tak terasa
mengalir membasahi wajah. Pikiran mulai menerawang, bagaimana Bapak,
bagaimana Ibuk, bagaimana Shela, bagaimana Qadar. Aku sesunggukan,
nangis tersedu-sedu.
Perempuan itu membasuh mukaku dengan air,
terasa hangat. Mengelap pipiku, menggosok-gosok lembut di kepalaku, dan
memegang erat tanganku, merebahkan wajahnya dan berbisik di telingaku
"Sabar dik, ini cobaan bukan musibah. Kita orang mukmin jangan
menganggapnya musibah, Iman kita sedang diuji. Semua akan sembuh, semua
akan pulih, semua akan seperti sedia kala. Badai akan pergi, pahala dan
rezeki akan kita dapati". Aku mengangguknya pelan. Kemudian dia minta
diri, aku kembali sendiri.
***
Sebulan berlalu, aku
sudah bisa bicara, kaki sudah bisa digerakkan. Aku mulai tertatih.
Berjalan menggunakan alat bantu seperti kursi, punya empat kaki, terbuat
dari besi putih dan tidak kuketahui namanya. Biasanya aku lihat di
senetron-senetron. Buk Mela terlihat cantik hari ini. Dia mengunjungiku,
tidak dengan berpakaian putih-putih, hari ini dia berbusana persis
seperti Dian Pelangi, dan mereka hampir mirip seperti kakak adik. "Dik
Lisa sudah bisa berjalan ya?" Sapa pertamanya padaku dan dengan senyum
khasnya.
Kami berbincang-bincang di teras depan Rumah Sakit
Pelita Hati. Iya; Aku sekarang menjalani pemulihan dirumah sakit ini. 15
hari sudah aku dirawat disini. Karena di Kecamatan kami sudah tidak
sanggup menangani maka dirujuklah kemari. Disini aku hampir tiap hari
ditemani Bu Mela, selain seorang dokter muda perempuan anggun itu juga
merangkap Psikiater. Pandai, cantik, dan sangat berwibawa.
Setelah bisa menerima dan berbesar hati atas kepergian Bapak, Ibuk,
Shela, dan Qadar yang baru genap berusia 5 tahun - aku adalah yang
tertua, Shela umurnya 11 tahun, dan kami hanya terpaut 3 tahun. Aku
mulai menjalani rutinitas hari-hari yang kadangkala sedikit membosankan.
Makan-tidur-latihan berjalan, hampir itu-itu saja. Sesekali kusibukkan
diri dengan membaca-apa saja, biasanya koran bekas yang kutemukan dipos
satpam dekat loket pengambilan obat. Hampir seluruh pekarangan Rumah
Sakit ini ku jelajahi walau tertatih-tatih.
Sesekali teringat
Bapak, Ibuk, Adik-adik selalu air mata tidak dapat ku bendungi. Bapak
pernah berucap "hujan sehari dahaga sepanjang tahun tidak akan terasa
lagi" tapi hari ini dan mungkin kedepannya mulai berbalik "hujan sehari,
dahaga kasih sayang seumur hidup harus ku tangisi".
Karenanya
sekarang aku mulai membenci hujan tapi mengharapkan pelangi setelahnya,
berharap pelangi membawa Bapak, Ibu, adik-adik bersama bidadari yang
hendak turun mandi ke bumi.
Dulu, sewaktu kecil saat masih
berseragam TK Bu Guru pernah bercerita pada kami, bahwa pelangi itu
Bidadari yang sedang mandi di bumi. Membawa sertanya orang-orang pilihan
yang berbudi luhur. Keluargaku pasti selalu serta mereka, pikirku
seketika.
"Pelangi Setelah Hujan"
Tengah malam sepulang dari lembur kerja.
Bireuen, 16 Sep 14.