Ada banyak hal yang bisa kulakukan jika aku masih punya pegangan kuat seperti dulu, persis seperti ketika suamiku masih ada.
Sekarang semua impianku buyar. Cita-cita dan harapan untuk bahagia menatap masa depan hanya berupa angan, tak kesampaian.
Mungkin semua orang disini bisa saja iba dengan nasibku
hari ini, lebih tepatnya kasihan. Betapa dulu kami tumbuh di desa ini,
hidup berdampingan dan seingatku tidak ada riuh atau cekcok tak
berkesudahan. Suamiku yang sedikit diberi kemudahan rezeki tidak
sombong, boleh dikata dermawan dan murah hati. Dia sangat menyayangi
anak yatim, terlebih yang ayahnya seperjuangan dengannya dulu, di hutan
belantara.
Sekarang apa boleh dikata. Nasi menjadi bubur, pisang lepas
dari tandan. Pasang telah surut, sarden, kepiting, dan ikan-ikan kecil
lainnya telah kembali ke peraduan, tinggallah semak belukar yang
tersangkut di kaki-kaki jembatan.
Angir semilir tepi pantai menggoyahkan dahan bakau, membuat
ranting-rantingnya yang kering berjatuhan. Tampak di laut lepas
kapal-kapal timbul tenggelam. Nyiur diujung selatan melambai-lambai,
sesekali terlihat tupai yang kegirangan berkejaran dengan kawanannya,
tidak pernah bosan. Aku sedari tadi berada disini menyaksikan keindahan
cipta Tuhan, tapi seperti begitu hening, tanpa warna, tanpa rasa.
Mungkin karena kegalauan yang kian mendera.
Saat hati risau, aku menyempatkan diri kesini. Melihat
matahari mengulum senja, berupa hitam menyelimuti alam, menanti gelap
membuai malam yang kian terasa sunyi, sepi. Tak luput ku bawa permata
jiwa yang sejak umur 3 tahun sudah ditinggal pergi ayahnya. Hanya itu
harta yang sekarang kumiliki, intan delima nan indah yang diilhami dari
suamiku tercinta. Peninggalan-peninggalannya yang lain sudah dulu
disita, ada sepetak tanah yang dulu sempat kami beli itupun sudah ada
yang menggugat, kata mereka surat-suratnya tidak sah, ya sudah... bagiku
itu tak apa. Manis hanya sebentar, pahitnya terasa lama.
Ku seduhkan kopi yang sengaja ku bawa dari rumah, berharap
bisa menghilangkan sedikit lara. Terasa aneh, bayang-bayang suami tetap
bermunculan, apalagi mengingat ketika sehari sebelum orang-orang berdasi
menjemputnya ke rumah dengan alasan ada keperluan partai, kami disini
menghabiskan hari dengan canda tawa melihat buah hati kami bermain pasir
girang bukan kepalang.
Lima tahun sudah, "setelah keperluan partai, ada rapat
dadakan" begitu mereka beralasan, suamiku juga belum pulang. Tidak tau
rimbanya walau sudah kami cari kemana-mana, melibatkan dukun-dukun
(kebiasaan di Desa kami jika ada kehilangan-walau itu hal yang
bersalahan dengan agama) juga tidak mempan, katanya sudah dibawa ke
hutan. Hutan mana? Juga wallahua'lam, "dasar setan" batinku membentak.
Lima tahun, waktu yang lama. Tapi luka, pilu masih tetap ada. Rasa kehilangan tetap membekas di dada.
Perlahan sesudah kepergiannya aku berusaha hidup mandiri,
bekerja apa saja yang penting halal demi mengepulkan asap di dapur dan
untuk keperluan lainnya, termasuk sekolah putriku.
Tahun kedua, aku sudah mulai bangkit. Dengan bekal ijazah
S1 Ekonomi aku memberanikan diri melamar kerja (lagi). Punya pengalaman
yang mantap dan umur belum terlalu tua, aku yakin akan mudah diterima.
Sebelumnya akupun sudah pernah bekerja di perusahaan BUMN,
tapi karena suamiku menginginkan aku untuk sepenuhnya tinggal dirumah
maka kuputuskan untuk berhenti bekerja. Alasannya cukup kuat, dia ingin
aku tidak terlalu capek apalagi saat itu aku sedang mengandung untuk
anak kami yang pertama.
Suamiku seorang pengusaha. Bukan pengusaha kaya, tapi hidup
kami berkecukupan. Disaat usia pernikahan kami sudah tiga tahun lima
bulan, sudah dikaruniai satu putri, suamiku memutuskan untuk masuk ke
ranah politik. Suamiku mencalonkan diri sebagai anggota DPR Kabupaten
diusung oleh sebuah partai yang boleh dikata cukup dominan di tempat
tinggal kami.
Namun sebenarnya aku khawatir dan sangat was-was dengan
keputusannya itu. Mengingat politik itu licik, picik, kotor dan boleh
diketahui didalam politik itu "tidak ada kawan abadi yang ada hanya
kepentingan abadi" begitu orang-orang menyebutnya.
Rasa kekhawatiran itu terjawab sudah, malapetaka yang
menyesakkan dada itu tiba hanya setelah satu bulan dia mencalonkan diri.
Sekelompok orang berdasi dengan menebar senyum palsu membawanya entah
kemana. Hingga hari ini batang hidungnya tidak terlihat lagi.
***
Aku diterima bekerja di anak perusahan BUMN, tidak bertahan
lama. Cuma satu tahun, perusahan bangkrut, sebagian karyawan di PHK
termasuk aku didalamnya.
Derita makin menjadi-jadi, di tahun ke tiga pemilik tanah
membuat ulah. Tanah yang kami beli katanya bermasalah, sertifikat yang
kami pegang ternyata palsu, dan agen perantara yang mengurus semua surat
menyurat tanah tersebut sudah melarikan diri.
Tidak sampai disitu, ditahun ke-empat setelah suamiku
hilang tanpa arah, putriku sakit parah, lima hari tidak sadarkan diri.
Dokter mendiagnosanya terkena penyakit ITP (Idiopathic Thrombocytophenic
Purpura) keadaan dimana jumlah trombosit terus menurun tanpa diketahui
penyebabnya, hari demi hari keadaannya semakin parah. Segala cara telah
aku tempuh, berusaha agar penyakit putriku segera sembuh. Ikhtiarku
tidak sia-sia. Setelah dua puluh tujuh hari dirawat, berangsur-angsur
keadaannya mulai membaik. Hatiku sudah sedikit lega.
***
Betapa pilu hati ini, tepat di tahun ke lima suamiku pergi,
putri jelitaku kembali masuk rumah sakit, penyakitnya kambuh lagi.
Tubuhnya membiru, tidak sadarkan diri disertai kejang-kejang yang sangat
dahsyat, aku menangis tersedu-sedu. Cuma dua hari dirawat, kemudian
diapun pergi menjumpai ayahnya.
Tidak ada lagi penyemangat hidup ini. Suami tiada, jelita
pelipur lara-pun sudah tiada. Tinggallah aku seorang diri tanpa arah
tujuan kemana akan ku labuhkan haluan.
***
Dengan rasa putus asa, duka berkecamuk, hati seakan remuk,
aku sudah bagaikan nelangsa yang tak tau bagaimana jalan kehidupan yang
akan aku jalani. Aku benar-benar rindu ingin kembali ke masa lalu, masa
dimana bisa tersenyum getir pada tiap jengkal langkah hidup. Rindu akan
suami, rindu pada putri jelita ku.
Hari ini, tepat dua ribu hari kepergian suamiku. Aku
menyempatkan diri ketempat ini, tempat dimana kami saling melepas rindu.
Pantai yang indah bersama nyiur melambai, desir pasir berkilauan
tersapu cahaya, pohon bakau yang sempoyong oleh angin barat daya, juga
perahu nelayan yang timbul tenggelam bagai bunga hiasan yang menggugah
selera. Tapi sudah lima tahun keindahan-keindahan itu sudah tidak
berarti apa-apa, hanya membuat hati kian luka.
Lima tahun belakangan ini, aku mengibaratkan diri bagai
angsa ditengah lautan, disaat bersamaan datang badai yang maha dahsyat.
Berusaha untuk naik kedaratan terlalu payah, nekat tetap dilautan akan
tenggelam tersapu badai atau jadi mangsa ikan-ikan buas penghuni lautan.
Hati ini kian bimbang. Jalan kehidupan tidak terlihat lagi, jiwa sudah
sangat lapar akan kebahagian.
Mungkin sudah cukup disini kisah lara ini. Ku tulis dengan
gelisah dan mata berkaca-kaca disaat senja mulai temaram, bersama rindu
yang mulai padam. Tidak ada lagi, iya tidak ada lagi yang bisa ku
pertahankan. Bila nanti ada yang menemukan tulisan ini berserakan
dijalan atau terdampar dipantai tempat biasa aku rebahan mohon sampaikan
pada dunia, pada siapa saja bahwa aku selalu merindukan suamiku, putri
jelitaku.
Maka hari ini tepat pada dua ribu hari kepergian suamiku
aku memutuskan untuk memperjuangkan rinduku, menyambung kembali
ranting-ranting yang telah patah semoga tumbuh merekah menjadi
dahan-dahan yang indah. Sampai jumpa kekasih selamat tinggal dunia, ku
kubur segala yang lara dipantai penuh cinta.
Bireuen, 20 September 2014